Nifaq
NIFAQ
Penulis: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.
Nifaq atau kemunafikan berasal dari bahasa Arab () yang berarti salah satu liang binatang yarbu’, yaitu hewan semacam tikus yang memiliki lebih dari satu liang sehingga tatkala dia dikejar melalui satu liang akan lari menuju liang yang lain.
Dalam istilah syariat berarti perbuatan menampakkan keislaman dan kebaikan namun menyembunyikan kekafiran serta kejelekan. Diistilahkan demikian karena pelakunya masuk ke dalam agama Islam dari sebuah pintu dan keluar darinya melalui pintu lain. Dalam istilah bahasa Indonesia, nifaq sering disebut kemunafikan.
Macam-macam nifaq:
1. Nifaq i’tiqadi yakni kemunafikan yang bersifat keyakinan. Ini merupakan nifaq besar. Yaitu seseorang yang menyembunyikan keyakinan kafir lalu menampakkan keislaman. Seolah-olah ia beriman padahal dalam hatinya menyimpan keyakinan kafir. Nifaq i’tiqadi ada enam macam:
• tidak mempercayai Rasulullah
• tidak mempercayai sebagian yang dibawa Rasulullah
• membenci Rasulullah
• membenci sebagian yang dibawa oleh Rasulullah
• merasa senang saat direndahkannya agama Rasulullah
• benci ketika menangnya agama Rasulullah
2. Nifaq ‘amali yakni kemunafikan yang bersifat amalan. Bentuknya bisa berupa perbuatan yang biasa dilakukan orang munafik atau salah satu sifat mereka, yang dilakukan orang yang masih beriman dan tidak memiliki keyakinan-keyakinan kekafiran seperti di atas. Misalnya berkata dusta, ingkar janji, khianat terhadap yang memberi amanat kepadanya atau berbuat curang tatkala bertikai. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Empat hal yang barangsiapa keempatnya ada padanya maka dia seorang munafik yang murni dan barangsiapa yang terdapat pada dirinya salah satu darinya berarti ada pada dirinya sebuah kemunafikan: jika dipercaya berkhianat, jika berbicara berdusta, jika berjanji tidak menepati, dan jika bertikai ia berbuat curang.” (Shahih, HR. Al-Bukhari No. 34 dan Muslim No. 207)
Kesalahan Memahami Istilah Nifaq
Sebagian orang memahami bahwa kemunafikan hanya ada satu macam yaitu nifaq i’tiqadi saja, sehingga dari situ timbul kesalahan dalam menetapkan sebuah hukum. Misalnya dalam menafsirkan surat An-Nisa’: 145 :
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari an-naar (neraka). Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan seorang penolong pun bagi mereka.”
Mereka tetapkan hukum ini juga pada orang yang ‘sekedar’ punya sifat kemunafikan padahal dia masih beriman.
Sumber Bacaan
1 Kitabut Tauhid, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal: 17-19
2 Al-Haqiqatusy Syariyyah, Muhammad ‘Umar Bazmul, hal: 165
3 Tafsir As-Sa’di, edisi revisi cet. Ar-Risalah, hal: 944
Tidak ada komentar:
Posting Komentar