Mereka berkata; “kitab ta’lim fadhail a’mal adalah kumpulan
Kitab yang berisi hadits –hadits dhaif, bid’ah dan khurafat.
Kitab tersebut sesat lagi menyesatkan.”
Penilaian tersebut perlu didasari oleh pengetahuan mengenai pengarangnya, maksud tujuan Fadhail A’mal,dan tentu apa pengaruh Fadhail A’mal kepada
... para pembacanya.
Mengenal Syaikh Muhammad Zakariyya Al-Kandhalawi.
Beliau adalah seorang ulama besar yang lahir dan berasal dari keluarga yang sangat dikenal sebagai gudangnya para ulama. Selama tujuh ratus tahun lebih, keluarga tersebut telah melahirkan ribuan ulama, syaikh, hafizh alquran, hafizh hadits, mufti,qadhi, ahli tafsir, ahli hadits, da’I,muballigh dan tokoh-tokoh ilmu dan amal.
Ayah beliau, seorang ulama besar bernama Syaikh Muhammad Yahya Al –kandhalawi. Dari jalur kedua orangtuanya adalah keturunan para tokoh ulama dan pejuang agama. Jika disimak dari nasbnya saja, maka tidak diragukan lagi tingkat keshalihan dan ketakwaan beliau.
Beliau telah hafal Alquran 30 juz sebelum usia balighnya di tangan ayahnya sendiri. Ayahnya memiliki metode pendidikan tahfizhul Quran dengan menyuruhnya mengulang-ulang satu ayat sebanyak seratus kali, kemudian disimakkan kepada belliau. Demikian beliau menghafal Alquran hingga menjadi hafizh alquran. Setiap harinya, Syaikh Zakariya kecil sudah diharuskan mengkhatamkan Alquran sekali sehari, yaitu sebelum Zhuhur, ia mesti sudah membaca30 juz Alquran di luar kepala, baru ia akan di bolehkan makan siang.
Pada masa itu pun ia sudah belajar kitab fiqih mudzhab Hanafi; Behesti Zewar hingga tamat. Setelah Hafizh Alquran, beliau belajar ilmu-ilmu alat, seperti Nahwu dan Sharaf hingga usia 13 tahun. Dan sejak Rajab 1328 H, beliau mulai melanjutkan belajarnya di Darul ulum Saharanpur. Dan pada usia 18 tahun, beliau memasuki kelas khusus Daurah Hadits’ dan berhasil tamat dengan sangat istimewa.
Keilmuan beliau dalam bidang hadits Sejak lulus dari darul Uluma Saharanpur pada usia 20 tahun, karena prestasinya yang luar biasa dalam bidang hadits dan ilmu-ilmu lainnya, maka beliau mulai diserahi kesibukan mengajar, khususnya dibidang hadits, yaitu sejak tahun 1335 H hingga 1388 H. selama 54 tahun itu, beliau telah mengajarkan 35 kitab dalam berbagai bidang ilmu, dari ilmu-ilmu dasar, hingga fiqh dan hadits secara khusus. Dari semua kitab yang diajar kan itu, beliau telag berkali kali menamatkannya dalam pelajaran, diantaranya : shahih Bukhari tamat sebanyak 16 kali, Bukhari jilid I tamat 50 kali, Sunan Abu Dawud tamat 30 kali, Misykatul Mashabih tamat 3 kali, dan kitab-kitab lainnya yang telah belaiu pelajari dan ajarkan hingga tamat beberapa kali.
Murid-Murid beliau. Melalui didikan tangan beliau, telah lahir Alim Ulama besar dalam bidang ilmu dan keshalehan, seperti : Syaikh Muhammad Yusuf, Mufti Mahmudul Hasan (Darul Ulum Deoband), syaikh Munawar Husain (Darul Ulum Qathar), Syaikh Abdul Jabbar ( Darul Ulum Murad Abad), Syaikh Akbar Ali Saharanpur (Darul Ulum Karachi), Syaikh Ubaidillah Belyawi ( Kasyifur Ulum Delhi), Mufti Muzhaffar Husen (Mazhahirul Ulum Saharanfur), syaikh Muhammad Aqil (Shadar Mudarrisin), Syaikh Asyik Ilahi Belansyahri (Darul Ulum Karachi).
Tidak perlu diceritakan lagi bagaimana kemasyhuran mereka dalam bidang keilmuan dan keshalehan serat pengaruhnya bagi ummat.
Sepannjang beliau mengajar, dapat dipastikan tidak sepersenpun belaiu menerima gaji dan sejenisnya dari pihak sekolah ataupun yang lainnya. Semua itu murni dari keikhlasan dalam berkhidmat untuk agama untukagama. Walaupun terkadang beliau terpaksa menerima upah, namun menjelang akhir hidupnya, beliau telah mengembalikan seluruh upah yang pernah beliau terima tersebut kepada madrasah.
Karya Tulis Beliau. Semasa hidupnya beliau telah menulis 83 buah kitab agama. Sebagaian ada yang sudah diterbitkan dan ada yang masih berupa catatan. Jika dihitung dengan naskah-naskah beliau yang tercecer dan tidak sempat dilanjutkan, diperklirakan dapat mencapai lebih dari 100 buah kitab. Diantara kitab-kitab beliau yang terkenal adalah : Kitab Awzajul Masalik, yaitu kitab syarah Al-Muwattha’ Imam Malik (6 jilid besar) yang beliau tulis selama belasan tahun bersama gurunya, syaikh Khalil Ahmad Saranfur.
Kitab tersebut bukan kitab sembarang. Muqaddimahnya berisi 90 halaman. Didalamnya terdapat pembahasan mengenai fiqih Mazhab Maliki secara mendalam : perjalannya, Riwayatnya, juga mengenai sejarah imam Malik secara detail. Dan juga diterangkan hubungannya dengan madzhab-madzhab lainnya.
Kitab tersebut telah mendapatkan pujian dari Alim Ulama di Hijaz, bahkan Syaikh Sayyid Alwi Al-Maliki dalam telah memberi sambutan yang luar biasa dengan berkata, “Seandainya pengarang kitab ini, tidak, bermadzhab Hanafi, niscaya kami pasti akan menyangka bahwa beliau bermadzhab Maliki. Karena didalam kitab karyanya tersebut, beliau tekah menjelaskan setiap bagian dalam fiqih Maliki dengan sangat terperinci. Selain itu beliaupun dapat mengumpulkan banyak sekali permasalahan-permasalahan fiqih dalam madzhab Maliki yang penjelasan masalah tersabut tidak mudah untuk ditemukan didalam kitab-kitab Maliki sekalipun.”
Dan kitab tersebut telah mengalami cetak ulang berkali kali di Beirut, juga oleh beberapa penerbit di Saudi Arabia hingga saat ini.
Demikian juga kitab beliau lainnya, yaitu ‘Lami’ud Darori’ yaitu kitab Syarah Jami’ Al-Bukhari, berisi pembahasan yang sangat luas mengenai hadits dan fiqih. Muqaddimahnya saja sebanyak 152 halaman. Kemudian pembahas-pembahas mengenai Jami’ Shahih yang dirangkum oleh Imam Bukhari, permasalahannya, kaidah-kaidahnya, rijal-rijal haditsnya, ijtihad-ijtihadnya dari berbagai madzhab terutama Hanifiyah semua dibahas oleh beliau dalam ribuan halaman tersebut.
Dan kitab ‘Kaukabud Duri’. Yaitu kitab Syarah Shahih Tirmidzi, juga kitab-kitab liannya yang tidak kalah harganya.
Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi berkata mengenai karya-karya Syaikh Zakariyyah; “Karangan-karangan dan susunan Syaikh Zakariyyah benar-benar mengandung dua inti,: yaitu (a) khusuus mengenai keilmuan dan hakekat, dan (b) murni berisi dakwah dan Ishlah. Sedangkan pada umunya seseorang yang mahir dalam bidang pertama, maka ia tidak mahir dalam bidang kedua, maka ia tidak mahir dalam bidang kedua. Dan jika ia mahir dalam bidanng kedua, maka ia tidak mahir dalam bidang pertama. Namun tidak demikian dengan Syaikh Zakariyya, beliau berhasil menunsikan kedua bidang tersebut dalam sikap karyanya dengan sempurna. Beberapa contoh dari karya-karya beliau dalam bidang pertama adalah kitab Awzajul Masalik dan Lami’ud . Sedangkan karya beliau dalam bidang kedua adalah hikma sahabat dan Fadhail A’mal, yang sangat diterima secara umum, yang berisi Fadhail shalat, Ramadhan, Dzikir, Alquran, Haji, Sedekah, Tabligh,Shalawat. Sedangkan diantara karya beliau yang terkumpul di dalamnya kedua bidang tersebut, adalah karya beliau; Jami’ Syamal Tirmidzi dan Syarah Khasail Nabawi."
Maksud dan Tujuan Ta’lim Fadhail A’mal
Dengan riwayat hidup yang demikian, sangat tidak mungkin sosok Syaikh Muhammad Zakariyyah tidak mengenal ilmu-ilmu hadits, atau tidak mengenal mana hadits shahih dan mana hadits dhaif, dimana beliau justru berkali-kali menamatkan pengajaran kitab shahih bukhari, bahkan menulis syarah berbagai kitab hadits, termasuk Shahih Bukhari--, lalu apakah dapat diterima jika kitab Fadhail A’mal dikatakan sebagai kitab yang penuh kebatilan, yang memuat kesesatan dan menyesatkan?
Seandainya demikian, apa maksud Syaikh Zakariyya menulisnya? Dan apa maksud Jamaah Tabligh menjadikannya kitab Ta’lim yang dibaca secara umum di seleluruh dunia?
Syaikh Muhammad Umar Palanpuri dalam nasehat pembekalan kepada jamaah-jamaah Tabligh yang akan diberangkatkan, berkata, “Salah satu bagian dari Ta’lim kita adalah membaca dan mengajar Fadhail A’mal. Ta’lim Fadhail A’mal bertujuan agar menumbuhkan minat dan gairah terhadap agama. Dan tidak terjadi perselisihan diantara jamaah. Karena jika dibacakan kepada jamaah mengenai masail fiqih, maka dikhawatirkan akan timbul perselisihan di antara jamaah yang beragam keadaannya. Apabila jamaah yang berisi orang-orang awam. Oleh sebab itu tidak di Ta’limkan masail fiqhiyyah pada masa Ta’lim ijtima’i. Misalkan kami katakana mengenai wudhu, bahwa fardhu wudhu itu ada empat, maka hanya orang-orang hanifi yang menerimanya, sedangkan orang-orang Syafi’i akan menolaknya. Karena di dalam fiqih mereka, fardhu wudhu itu ada enam. Akhirnya hal seperti ini dapat menimbulkan perselisihan diantara jamaah, sehingga tujuan jamaah dikeluarkan tidak tercapai. Sengaja kitab Fadhail ang dibacakan, agar terbentuk kesatuan dalam dakwah dan terhindar dari perselisihan, serta dapat diterima oleh semuanya.
Bagaimana seandainya semua jamaah adalah orang-orang bermadzhab hanafi? Tetap Ta’lim Fadhail secara ijtima’i, Ta’lim masail fiqih belum dibenarkan, karena kebanyakan jamaah terdiri dari orang-orang awam. Sedangkan penjelasan masalah fiqih adalah tugas alim ulama. Apabila orang awam yang mengulasnya, dikhwatirkan akan terjadi kesalahan dalam membahasnya.
Dengan dibacakan berulang-ulang Fadhail A’mal, dikehendaki muncul rasa kehausan umat terhadap agama. Apabila sudah muncul rasa haus tersebut pada diri mereka, maka berilah minum dari sumur mereka masing-masing. Mereka yang bermadzhab Hanafi, hendaklah bertanya kepada ulama Hanafi. Mereka yang bermadzhab Syafi’i hendaklah bertanya kepada ulama Syafi’i. setiap orang bertanya kepada alim ulamanya masing-masing, sehingga kerja dakwah dapat berjalan dengan baik dan kerukunan pun tetap terjaga.
Namun demikian, bukan berarti Jamaah Tabligh tidak menghiraukan fiqih. Fiqih tetap diyakini kepentingannya. Tanpa fiqih, niscaaya shalat dan amal ibadah akan rusak. Beramal tanpadilandasi Fadhail akan mengurangi nilai, tetapi beramal tanpa dilandasi fiqih tentu akan rusak. Fadhail dibaca agar tumbuh gairah agama. Sedangkan untuk masalah fiqih hendaklah selalu bertanya kepada alim ulama masing-masing. Setiap jamaah hendaklah mempedulikan masailnya. Dan selalu bertanya kepada alim ulama dalam
masalah-masalah nikah, shalat,jual beli dan yang lain sebagainya.
Sangat disayangkan ketika jutaan umat islam tidak menunaikan shalat fardhunya secara sengaja. Sebagaian ‘ulama’, malah sibuk bertengkar dalam masalah khilafiyah fiqih. Bagaimana pun keadaan orang yang sudah shala, kita bertanggung jawab mengarahkannya agar selalu bertanya kepada alim ulama dalam masalah fiqihnya. Oleh sebab itu, hendaklah kalian menggiatkan ta’lim secara ijtima’i dengan ta’lim fadhail.
Ada sebagian orang yang bertanya; kami sudah menamatkan kitab Fadhail A’mal puluhan kali. Kami ingin kitab yang lainnya untuk kemajuan ilmu kami. Kami menjawab, bahwa ta’lim ijtima’I kita bermaksud agar memasukkan kesan-kesan dan pengaruh Alquran serta hadits ke dalam hati kita. Bagimana agar Kabar-kabar gembira berkesan gembira ke dalam hati kita. Kabar-kabar yang sedih berkesan sedih ke dalam hati. Sebagaimana urusan duniawi--yang apabila kita mendengarnya--, hati kita begitu terkesan dengan berita duniawi tersebut. Dan sekarang yang dita’limkan adalah Alquran dan hadist, berita-berita dari Allah dan rasul-Nya, maka kita hendaknya berusaha bagaimana agar dapat menimbulkan kesan yang mendalam di dalam hati kita. Kita perlu membacanya berulang-ulang dengan penuh keagungan.
Manusia tidak dapat beramal hanya dengan ilmu. Jika ilmu memang dapat membuat orang beramal, tentu peminum khamar yang tahu keharamannya, akan berhenti dari mabuknya padahal mereka mengetahui keharamannya. Tidak sedikit orang yang sengaja meninggalkan shalat fardhu, sedangkan ia mengetahui kewajibannya.
Asal ilmu adalah nur. Apabila seseorang dapat mengamalkannya, maka sesungguhnya ia mendapatkan nurnya. Dan nur itu insya Allah akan di dapatkan oleh seseorang jika ia duduk di dalam ta’limdengan penuh adab dan ta’lim (keagungan), yaitu dengan penuh memuliakan kalam-Nya dan pemilik kalam itu
(Allah dan Rasul-Nya), dengan berusaha memasukan nesan-kesannya ke dalam hati.
Dengan menzhahirkan keagungan terhadap kandungan ta’lim, yaitu; Dalam keadaan berwudhu, penuh konsentrasi, sehingga walau pun hanya duduk dan mendengar beberapa kali saja, tetapi sudah mempengaruhi ke dalam hati, sehingga muncul kekuatan untuk mengamalkan apa-apa yang di dengar di dalam ta’lim. Bagaiman jika berkali-kali membaca fadhail itu? Tentu pada saat mengamalkannya, bayangan fadhail itu pun akan muncul dalam benak kita.
Hal ini itu sangat diperlukan oleh siapapun. Baik orang alim ataupun bukan. Orang lama ataupun baru. Semua berhajat dengan hal ini hingga akhir hayat kita. Tanamkanlah keagungan Alquran dan hadits di hati kita secara mendalam.”
Kedudukan hadits dalam Fadhail A’mal
Disebut-sebut oleh sebagian orang bahwa kitab Fadhail A’mal penuh dengan hadits-hadits dhaif, sehingga tidak patut dibaca da dijadikan rujukan dalam masalah agama.
Menanggapi hal ini, mari kita perhatikan beberapa hal ;
Kitab Fadhail A’mal memang bukan kitab yang membahas masalah hukum ataupun fatwa-fatwa fiqih. Fadhail A’mal adalah kitab fadhail, yang berisikan nilai-nilai amalan untuk menumbuhkan gairah dan semangat kepada pembacanya agar lebih menyibukkan diri dengan amal-amal agama.
Hadits-hadits dhaif dibenarkan untuk dijadikan bacaan dengan tujuan untuk meningkatkan semangat dan gairah beramal. Para imam, sepeti imam Ahmad bin Hambal, Abdurrahman bin Mahdi, Abdullah bin Mubarak, berkata, “Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Namun apabila kami meriwayatkan tentang fadhail, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya, dan kami perlunak
rawi-rawinya.”
Al-Buqa’i menulis di dalam kitabnya ‘Al-Aqwal Al-Qawimah fi Hukni An-naqli min Al-kutub Al-Qadimah’ halaman 34; hokum mengutip riwayat dari Bani Israil (kisah Israiliyat) walaupun pada perkara yang tidak dibenarkan oleh kitab-kitab dan tidak didustakan adalah boleh. Walaupun perkara yang dikutib itu tidak begitu kuat. Ini dikarenakan maksud bolehnya hanya untuk mengetahui saja, bukan dalam syariat kita, maka sesungguhna itu merupakan pegangan dalam berhujjah untuk menegakkan kebenaran agama, sehingga jadi benar-benarr kuat. Dalil-dalil yang ada di sisi kita ada tiga bagian,yaitu: Nash maudhu, nash dhaif dan yang lainnya. Maka nash yang bukan maudhu dan dhaif benar-benar dhaif, boleh dijadikan hujjah. Sedangkan nash dhaif boleh dijadikan pegangan untuk targhib (anjuran beramal) dan nash yang maudhu’ boleh disebutkan untuk memberi peringatan dari cerita itu, bahwa itu adalah dusta.”
Hadits-hadits di dalam Fadhail A’mal –seandainya berderajat dhaif--, memiliki syahid dan mutabi’ yang semisal dan semakna yang banyak mendukungnya, sehingga mendukung hadits tersebut kepada derajat hadits Hasan lighairihi.
Setiap hadits-hadits inti di dalam Fadhail A’mal, senantiasa dijelaskan kedudukan haditsnya dan para perawinya. Sedangkan di dalam faedah ataupun penjelasannya, dituliskan berbagai hadits-hadits sebagai syahid dan mutabi’nya. Ini tidak menjadi masalah. Di dalam musthalah hadits disebutkan; ‘Boleh berhujjah dengan hadits dhaif, sekalipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti halal dan haram.
Sebagaimana kitab-kitab tafsir Alquran uang masyhur, banyak juga yang memuat di dalam syarahnya, hadits-hadits dhaif bahkan yang bersumber dari Israiliyyat, namun kitab-kitab tersebut tidak disebut sebagai kitab yang penuh dengan kedhaifan atau kitab yang sesat dan menyesatkan. Misalnya, kitab tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Alquranul Azhim), tafsir Ibnu Jarir At-Thabari (Jami’ul Baran fi Tafsiril quran), Tafsir Al-Alusi (Ruhul Ma’ani fi Tafsiril Quran), dan sebagainya.
Alim ulama sangat ketat dalam menyeleksi sanad hadits dalam masalah halal dan haram, tetapi sikap yang sama tidak berlaku untuk Targhib dan Tarhib (anjuran dan peringatan), fadhail, zuhud dan sentuhan-sentuhan hati. Namun hal ini bukan untuk menetapkan anjuran penggunaan hadits-hadits dha’if yang tidak dapat dari hal ini, agar amal dilakukan berdasarkan ketetapan dari nash atau ijma’, seperti membaca Alquran, tasbih,, sedekah, memerdekakan budak, berbuat baik kepada kepada orang lain, membenci dusta, khianat dan lain sebagainya. Jika ada satu hadits yang diriwayatkan tentang fahdilah sebagian amal yang di sunatkan dan pahalanya, atau hadits tentang kemakruhan sebagian amal dan hukumannya, maka ukuran pahala dan hukuman serta jenis-jenisnya, boleh diriwayatkan dan diamaalkan, asalkan bukan merupakan hadits palsu. Dengan kata lain, jiwa akan mengharapkan pahala itu dan takut terhadap hukumannya. Misalnya adalah Targhib Wat Tarhib dengan
kisah-kisah Isra’iliyat, mimpi perkataan orang-orang salaf, ulama, pengalaman para ulama dan sebagainya, yang tidak dapat dijadikan acuhan hukum syariat dan tidak pula hukum sunatnya atau hukum apapun. Semua itu boleh disampaikan dalam kapasitasnya sebagai Targhib Wat Tarhib.Jika diketahui baik atau buruknya berdasarkan dalil-dalil syariat, maka hal itu jelas bermanfaat dan tidak ada dampak negatifnya, tak peduli apakah masalahnya itu sendiri benar atau batil. Namun jika diketahui bahwa suatu hadits itu batil dan maudhu’, maka tidak perl digubris. Sebab dusta tidak akan memberi manfaat apapun. Jika diketahui bahwa suatu hadits itu shahih, maka hukum dapat
di tetapkan dengannya. Jika ada dua kemungkinan, ia dapat dirawayatkan jika dimungkinkan ada kebenarannya dan tidak menimbulkan dampak negatif dalam kedustaannya.
Yang dimaksd pengalaman terhadap hadits-hadits itu ialah pengalaman berupa amal-amal shahih, seperti tilawat Alquran, dzikir, menjauhi hal-hal yang makruh dari berbagai perbuatan buruk. Yang semisal dengan hal ini ialah keinginan yang diberikan Rasulullah saw. tentang hadits-hadits riwayat Bani Israil, tapi disertai larangan membenarkan atau mendustakan mereka. Sekiranya tidak ada faidah sedikit pun dalam periwayatkan hadits itu, tentu beliau tidak akan memberi keringanan ini juga tidak memerintahkannya. Sekiranya beliau membolehkan pembenaran atas mereka meski sebatas pemberitaan, tentu beliau tidak akan melarang pembenaran atas mereka.
Imam An-Nawawi menulis mengenai hukum mengamalkan hadits dhaif, beliau berkata, ‘Alim ulama hadits, fiqih, dan alim ulama lainnya mengatakan bahwa diperbolehkan –bahkan disunnahkan—mengamalkan hadits dhaif untuk keutamaan beramal hal-hal yang mengandung targhib (anjuran) dan targhib (peringatan) selama hadits tersebut tidak berpredikat maudhu’.
Masalah hukum, seperti hal, haram jual beli, pernikahan, talak dan lain-lainnya, tidak boleh diamalkan melainkan dengan hadits shahih atau hasan, kecuali hadits yang menyangkut masalah
kehati-hatian dalam masalah-masalah tersebut. Misalnya; Hadits dhaif yang menyatakan makruh atas sebagian akad jual beli atau memakruhkan sebagian akad nikah, maka hal itu sunnah untuk dihindari, tetapi tidak wajib.’
Atas dasar nilah para penulis kitab menyetir berbagai hadits lemah dan kisah-kisah israiliyyat dengan harapan dapat berfaedah bagi hati, sehingga dapat menambah amalan berdasarkan Alquran dan Asunnah.
Untuk beramal dengan hadits dha’if diperlukan beberapa syarat, yang intinya sebagai berikut;
1. Harus disepakati bahwa kedha’ifannya tidak parah, yaitu tidak
ditakhrij dari orang yang menyendiri, orang-orang yang dianggap dusta dan dituduh dusta serta dari orang yang terlalu parah.
2. Harus termasuk di bawah dasar yang umum, sehingga dapat dikeluarkan darinya apa yang dapat dilakukan, yang tadinya tidak
3. Tidak ada keyakinan atas kekuatan hadits itu saat mengamalkannya, agar tidak menisbatkan suatu perkataan kepada Rasulullah saw., padahal beliau tidak pernah mengatakannya.
Sebagai ulama hadits, tentu Syaikh Zakariyyah tidak begitu saja mengutip hadits-hadits tersebut, tentu semuanya berdasarkan rujukan yang dapat dipertanggung jawabkan. Bagi yang teliti membacanya, bukankah di dalam kitab Fadhail A’mal itu disebutkan 84 kitab masyhur sebagai rujukannya ?
Pengaruh Ta’lim Fadhail A’mal
Sebagaimana tujuan adanya ta’lim Fadhail A’mal, yaitu agar tumbuh di hati umat rasa cinta kepada agama, sehingga tumbuh gairah dan semangat mengamalkan syariat Islam, maka demikianlah yang terjadi pada diri ahli majelis ta’lim Fadhail A’mal.
Sesuai dengan ucapan Syaikh Muhamad Ilyas, “Dengan ta’lim fadhail, akan timbul keyakinan terhadap nilai-nilai amalan. Dan ini merupakan derajat keimanan, sehingga seseorang akan mempersiapkan diri untuk beramal. Dan perasaan penting terhadap fiqih pun akan datang, ketika telah ada kesiapan untuk beramal.”
“Usaha Tabligh adalah menimbulkan pada diri orang awam hasrat dan kesadaran atas nilai-nilai agama, serta mempersiapkan mereka untuk mempelajari agama. Selanjutnya sangat di perlukan kerjasama para ulama dan shalihin untuk mengajari dan mendidiknya dalam pelajaran agama.”
Alim ulama menyatakan, bahwa tidak seluruh sahabat Rasulullah saw. itu ahli hukum dan fatwa. Hanya sebagian kecil dari mereka yang dibenarkan berfatwa oleh Rasulullah saw., karena fiqih sendiri belum muncul pada saat itu. Namun dapat dipastikan, bahwa mereka semua adalah ahli dalam hal fadhail. Masruq ra. Berkata, “Aku mengenali dengan baik para sahabat Rasulullah saw., maka aku dapati bahwa ilmu mereka berkumpul para enam orang, yaitu: Umar, Ali, Abdullah, Muadz, Abu Darda, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahu anhum. Lalu kukenali dengan baik mereka semua, hingga aku dapati bahwa ilmu mereka pun terkumpul pada Ali ra. Dan Abdullah ra..”___ “Aku datang ke Madinah, maka aku bertanya mengenai para sahabat Nabi saw., ternyta yang paling dalam ilmunya adalah Zaid bin Tsabit ra..”
Walaupun jumlah fiqih dan alim di tengah para sahabat adalah minoritas, namun seluruh sahabat ra. Alim dalam nilai amalan dan bahaya dalam setiap dosa, sehingga mereka selalu bergairah untuk menyambut apapun seruan agama.
Demikianlah kepentingan fadhail untuk umat yang sudah banyak kehilangan gairah terhadap pengamalan agama.
Apabila ditanya kepada orang-orang awam sekarang ini, apakah mereka tidak tahu kewajiban shalat lima waktu? Apakah mereka tidak tahu kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan? Orang-orang awam pun mengetahui hukumnya. Namun mengapa mereka tidak menunaikannya? Hal itu terjadi akibat kelemahan iman, sehingga tidak ada gairah dan kecintaan untuk mentaati agama.
Ini adalah usaha penanaman pondasi. Syaikh Ilyas berkata, “Mendakwahkan dan memberikan dorongan iman kepada orang lain adalah suatu ibadah yang sirri(tersembunyi), tetapi orang-orang tidak memahiminya sebagai suatu ibadah. Dan didalam dakwah terdapat derejat kesiapan yang tinggi untuk mewujudkan pelaksanaan ibadah yang jahri (terang-terangan).”
Misalnya; Adanya halaqah tajwid ketika khuruj. Syaikh Ilyas berkata, “Salah satu bagian yang terpenting dalam ta’lim Fadhail A’mal adalah tajwid. Sangat penting untuk dapat membaca Alquran dengan cara yang benar. Rasulullah saw. bersabda, “Allah tidak mendengarkan sesuatu dengan perhatian, selain Allah mendengarkan suara bagus seorang nabi (Muhammad saw.) yang sedang membaca Alquran dengan suara bagus.” Asal tajwid adalah membaca Alquran dengan baik (taghonna). Namun untuk menta’limkan tajwid ini, berapa pun masa yang kita miliki ketika khuruj tidaklah mencukupi. Oleh karena merasakan kepentingan memperbaiki bacaan Alquran. Kemudian unutk mempelajarinya, mereka dianjurkan meluangkan waktu khusus untuk belajar kepada ulamanya.”
Pengaruh Ta’lim Fadhail A’mal di Dunia
Sekarang ini, tidak dapat dipungkiri bahwa jutaan orang telah bertaubat melalui sebab tab’lim Fadhail A’mal, jutaan rumah lalai telah berubah menjadi rumah agamis disebabkan ta’lim Fadhail A’mal, juga ribuan masjid telah hidup dengan ta’lim Fadhail A’mal.
Puluhan ribu rumah sudah hidup ta’lim Fadhail A’mal di rumah-rumah di Indonesia (data April 2008). Belum lagi di Negara-negara lainnya, seperti Srilangka, Thailand, Bangladesh, Inggeris, dan lainnya, yang jauh lebih melejit peningkatannya.
Fadhail A’mal begitu tersohor, sehingga ratusan ribu eksemplar telah diterbitkan hanya untuk terjemahan bahasa Indonesia. Dalam edisi bahasa Urdu saja, (dari data penerbit Idara Isyaat saja),dari tahun1960 hingga tahun 1974 sudah terjual 82.500 eksemplar. Dan jutaan eksemplar dalam terjemahan bahasa lainnya. Hingga hari ini Fadhail A’mal telah mengalami terjemahan ke dalam 72 bahasa di dunia, yang setiap tahun bertamah versi bahasanya. Seperti bahasa inggeris yang memiliki puluhan penerbit di belahan dunia. Juga bahasa-bahasa yang lainnya.
Fadhail A’mal sangat mudah dibaca dan dimengerti oleh berbagai kalangan. Baik yang paling rendah pemahamannya, ataupun para ilmuwan dan cendikiawan. Berbagai kalangan telah menghidupkan ta’lim Fadhail A’mal di rumah-rumah, di kantor-kantor, juga di pabrik dan sekolah-sekolah, dengan catatan; Walaupun mereka bukan Jamaah Tabligh dan belum pernah ikut khuruj.
Hal itu disadari karena kepentingan dan pengaruh ta’lim Fadhail A’mal bagi rohani.
Kitab Selain Fadhail A’mal
Sesungguhnya kitab Fadhail A’mal bukan satu-satunya kitab rujukan ataupun pegangan Jamaah Tabligh. Memang Fadhail A’mal dapat dengan mudah diterima oleh kalangan manapun di seluruh dnia. Namun pada kelanjutannya, Jamaah Tabligh tidak terhenti di situ saja dalam menambah wawasan keilmuannya. Penekanan untuk membaca kitab-kitab selain Fadhail A’mal pun banyak dianjurkan. Seperti kitab Hayatus Sahabah dan Muntakhob Ahadits karya
Syaikh Muhammad Yusuf, kedua kitab tersebut yang lebih bermuatan hadits-hadits secara terperinci matan dan sanad masing-masing haditsnya.
Jamaah Tabligh dan Ta’lim Masail
Tidak benar jika ada tuduhan, bahwa Jamaah Tabligh tidak mempedulikan fiqih. Sama sekali tidak dinafikan kepentingan fiqih. Namun hal ini dikembalikan kepada bimbingan alim ulama masing-masing, yaitu dengan beberapa alasan, diantaranya adalah:
Θ rawannya perselisihan yang timbul karena pembahasan masalah
Fiqih, dan tidak sedikit yang menjurus ke arah perpecahan.
Θ perluya seseorang faqih yang ahli dalam pembahasannya, karena
tidak semua orang dapat menyampaikannya. Apabila sembarang orang, niscaya dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan.
Θ Perbedaan sisi pemahaman masing-masing yang masih perlu
dikemas sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan
perpecahan.
Atas pertimbangan tersebut, maka langkah Jamaah Tabligh adalah menghidupkan semangat pengalaman agama melalui ta’limfadhail, dan menghidupkan gairah masail fiqih melalui ta’lim infiradi (individu).
Ta’lim fadhail ibarat pembuka untuk menumbuhkan semangat iman. Setelah iman tumbuh dengan baik, maka akan mengantarkan dirinya kepada kepedulian terhadap fiqih. Sebagaimana yang terjadi pada masa sahabat ra..
Ibnu Umar ra. Meriwayatkan, “kami hidup beberapa tahun, dan sesungguhnya seseorang dari kami dikaruniai iman sebelum Alquran. Dan ketika turun Alquran kepada Muhammad saw., maka ia mempelajari halnya dan haramnya, dan ia tidak diperkenankan untuk berhenti di situ dari mempelajarinya sebagaimana kalian mempelajari Alquran. Kemudian aku saksikan orang-orang yang dikarunia Alquran sebelum keimanan; ia membaca dari surat fatihah hingga penutupnya, tetapi ia tidak mengetahui apa perintahnya dan apa larangannya, dan ia tidak diperkenankan berhenti di situ dari mempelajarinya dan menyebarkannya seperti menyebarkan kurma.’
Jundub bin Abdullah ra. berkata, “kami bersama Nabi saw. dan pada saat itu kami adalah pemuda-pemuda yang hampir baligh. Maka kami mempelajari iman sebelum kami mempelajari Alquran. Kemudian barulah kami mempelajari Alquran, sehingga meningkatlah iman kami dengannya.”
Ali ra. Berkata, “Apabila ada suatu surat yang turun pada masa Rasulullah saw. ataupun satu ayat atau lebih, maka keimanan dan kekhusyu’an kaum muslimin bertambah.”
Dari Abi Abdurrahman, disampaikan kepada kami orang yang membacakan kepada kami diantara sahabat ra., bahwa mereka dibacakan dari Rasulullah saw. sepuluh ayat. Dan mereka tidak mempelajari dulu sepuluh ayat berikutnya, sehingga mereka mengetahui apa yang dimaksud dengan ayat itu ilmunya dan amalannya. Maka kami mempelajari ilmu dan amal sekaligus.”
Dalam riwayat lain ada tambahan,”…maka kami mempelajari Alquran dan amalan bersamaan. Sesungguhnya akan diwariskan Alquran ini setelah kami, suatu kaum yang mempelajarinya seperti minum air yang tidak melewati tulang leher, bahkan tidak melewati di sini.”
Dan ia menunjukkan jarinya ke tenggorokannya.
Dengan metode ta’lim tersebut, Jamaah Tabligh telah menghasilkan orang-orang yang bersemangat mengamalkan agama, sekaligus memahami masalah hukum dan fiqihnya, serta bertanggung jawab untuk menyebarkan dan menyampaikannya kepada yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar