Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu’ terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.
[1]. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allooh Ta'ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allooh Ta'ala.
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allooh, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rohimahullooh memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu’ ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu’, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [Fathul Bari, 9/318]
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu’ (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469]
Dalil lainnya adalah sebagaimana tersebut dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas rodhiyalloohu 'anhuma tentang istri Tsabit bin Qais bin Syammas di atas.
[2]. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu’ itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu’ tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allooh Ta'ala berfirman.
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469]
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar tebusan dengan Al-Khulu’, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343]
b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu’, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِيْ غَيْرِ مَابَأْسٍ فَحَرَ امٌ عَلَيْهَارَاﺋﹻﺤﹷﺔُ الْجَنَّةِ.
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud 2229, At-Tirmidzi, Ibnu Majah 2055 dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342]
[3]. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu’).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allooh, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu’. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342]
[4]. Wajib
Terkadang Al-Khulu’ hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan
Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu’ walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar