Kamis, 16 Februari 2012

Memahami Takdir Illahi

◇Memahami Takdir Illahi◇
♥.•*•. ♥ (`'•.¸♥ ¸.•'´) ♥ .•*•.♥ ”

Engkau tidak dikatakan beriman kepada
Allah hingga engkau beriman kepada
takdir yang baik maupun yang buruk dan
engkau harus mengetahui bahwa apa saja
yang akan menimpamu tidak akan luput
darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu." Beriman kepada Takdir
Kaum muslimin yang semoga dimuliakan
oleh Allah Ta’ala, salah satu rukun iman
yang wajib diimani oleh setiap muslim
adalah beriman kepada takdir baik
maupun buruk. Perlu diketahui bahwa beriman kepada
takdir ada empat tingkatan :
[1] Beriman kepada ilmu Allah yang ajali
sebelum segala sesuatu itu ada. Di
antaranya seseorang harus beriman bahwa
amal perbuatannya telah diketahui
(diilmui) oleh Allah sebelum dia
melakukannya.

[2] Mengimani bahwa Allah telah menulis
takdir di Lauhul Mahfuzh.
[3] Mengimani masyi’ah (kehendak Allah)
bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah
karena kehendak-Nya.
[4] Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah
Pencipta satu-satunya dan selain-Nya
adalah makhluk termasuk juga amalan
manusia. Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di
atas adalah firman Allah Ta’ala (yang
artinya),”Apakah kamu tidak mengetahui
bahwa sesungguhnya Allah mengetahui
apa saja yang ada di langit dan di bumi?;
bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat
mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22] : 70).
Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di
atas adalah firman Allah (yang artinya)
,”Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta
alam.” (QS. At Takwir [81] : 29). Sedangkan
untuk tingkatan keempat, dalilnya adalah
firman Allah (yang artinya),”Allah
menciptakan kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37] : 96)
. Pada ayat ‘Wa ma ta'malun’ (dan apa saja
yang kamu perbuat) menunjukkan bahwa
perbuatan manusia adalah ciptaan Allah. Macam-macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam : [1] Takdir umum mencakup segala yang
ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh.
Dan Allah telah mencatat takdir segala
sesuatu hingga hari kiamat. Takdir ini
umum bagi seluruh makhluk. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Sesungguhnya yang pertama
kali diciptakan Allah adalah qalam (pena).
Allah berfirman kepada qalam
tersebut,“Tulislah”. Kemudian qalam
berkata,“Wahai Rabbku, apa yang akan
aku tulis?” Allah berfirman,“Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari
kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih
oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abi Daud).
[2] Takdir yang merupakan rincian dari
takdir yang umum. Takdir ini terdiri dari : (a) Takdir ‘Umri yaitu takdir sebagaimana
terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana
janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam
rahim ibunya akan ditetapkan mengenai 4
hal : (1) rizki, (2) ajal, (3) amal, dan (4)
sengsara atau berbahagia. (b) Takdir Tahunan yaitu takdir yang
ditetapkan pada malam lailatul qadar
mengenai kejadian dalam setahun. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya),”Pada
malam itu dijelaskan segala urusan yang
penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan [44] : 4). Ibnu Abbas mengatakan,”Pada malam
lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab
segala kebaikan, keburukan, rizki dan ajal
yang terjadi dalam setahun.” (Lihat
Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim harus beriman dengan takdir yang umum dan terperinci ini.
Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja
dari keduanya, maka dia tidak beriman
kepada takdir. Dan berarti dia telah
mengingkari salah satu rukun iman yang
wajib diimani. Salah dalam Menyikapi Takdir
Dalam menyikapi takdir Allah, ada yang
mengingkari takdir dan ada pula yang
terlalu berlebihan dalam menetapkannya. Yang pertama ini dikenal dengan
Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua
kelompok lagi. Kelompok pertama adalah
yang paling ekstrim. Mereka mengingkari
ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan
mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka mengatakan
bahwa Allah memerintah dan melarang,
namun Allah tidak mengetahui siapa yang
ta’at dan berbuat maksiat. Perkara ini baru
saja diketahui, tidak didahului oleh ilmu
Allah dan takdirnya. Namun kelompok seperti ini sudah musnah dan tidak ada
lagi.
Kelompok kedua adalah yang menetapkan
ilmu Allah, namun meniadakan masuknya
perbuatan hamba pada takdir Allah.
Mereka menganggap bahwa perbuatan hamba adalah makhluk yang berdiri
sendiri, Allah tidak menciptakannya dan
tidak pula menghendakinya. Inilah
madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah
kelompok yang berlebihan dalam menetapkan takdir sehingga hamba
seolah-olah dipaksa tanpa mempunyai
kemampuan dan ikhtiyar (usaha) sama
sekali. Mereka mengatakan bahwasanya
hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir.
Oleh karena itu, kelompok ini dikenal dengan Jabariyyah. Keyakinan dua kelompok di atas adalah
keyakinan yang salah sebagaimana
ditunjukkan dalam banyak dalil. Di
antaranya adalah firman Allah (yang
artinya),”(yaitu) bagi siapa di antara kamu
yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki
(menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta
alam.” (QS. At Takwir [81] : 28-29). Ayat ini
secara tegas membantah pendapat yang
salah dari dua kelompok di atas. Pada ayat, “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang
mau menempuh jalan yang lurus”
merupakan bantahan untuk jabariyyah
karena pada ayat ini Allah menetapkan
adanya kehendak (pilihan) bagi hamba.
Jadi manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat
selanjutnya,”Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan
semesta alam” merupakan bantahan untuk
qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan
diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa
tergantung pada kehendak Allah. Ini
perkataan yang salah karena pada ayat
tersebut, Allah mengaitkan kehendak
hamba dengan kehendak-Nya. Keyakinan yang Benar dalam Mengimani
Takdir
Keyakinan yang benar adalah bahwa
semua bentuk ketaatan, maksiat,
kekufuran dan kerusakan terjadi dengan
ketetapan Allah karena tidak ada pencipta selain Dia. Semua perbuatan hamba yang
baik maupun yang buruk adalah termasuk
makhluk Allah. Dan hamba tidaklah
dipaksa dalam setiap yang dia kerjakan,
bahkan hambalah yang memilih untuk
melakukannya. As Safariny mengatakan, ”Kesimpulannya
bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu
(salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki
adalah meyakini bahwa Allah menciptakan
kemampuan, kehendak, dan perbuatan
hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang dia lakukan secara
hakiki. Dan Allah menjadikan hamba
sebagai pelakunya, sebagaimana firman-
Nya (yang artinya),”Dan kamu tidak dapat
menghendaki (menempuh jalan itu)
kecuali apabila dikehendaki Allah” (QS. At Takwir [81] : 29). Maka dalam ayat ini Allah
menetapkan kehendak hamba dan Allah
mengabarkan bahwa kehendak hamba ini
tidak terjadi kecuali dengan kehendak-
Nya. Inilah dalil yang tegas yang dipilih
oleh Ahlus Sunnah.” Jangan Hanya Bersandar pada Takdir Allah
Sebagian orang ada yang salah paham
dalam memahami takdir. Mereka
menyangka bahwa seseorang yang
mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa
melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan
istrinya berhari-hari untuk berdakwah
keluar kota. Kemudian dia tidak
meninggalkan sedikit pun harta untuk
kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia
mengatakan,”Saya pasrah, biarkan Allah yang akan memberi rizki pada mereka”.
Sungguh ini adalah suatu kesalahan dalam
memahami takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita
untuk mengimani takdir-Nya, di samping
itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil sebab dan melarang kita
bermalas-malasan. Apabila kita telah
mengambil sebab, namun kita
mendapatkan hasil yang sebaliknya, maka
kita tidak boleh berputus asa dan bersedih
karena hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Bersemangatlah dalam hal yang
bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah
pada Allah dan janganlah malas. Apabila
kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu berkata: ‘Seandainya aku berbuat
demikian, tentu tidak akan begini atau
begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa
maa sya’a fa’al’ (Ini telah ditakdirkan oleh
Allah dan Allah berbuat apa yang
dikehendaki-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu)
setan.” (HR. Muslim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar