Dua anugerah membuat banyak orang merugi, yaitu kesehatan dan
kesempatan. (HR al-Bukhari). Gunakan dengan baik lima hal sebelum lima
yang lain: masa mudamu sebelum engkau tua; sehatmu sebelum engkau sakit;
kayamu sebelum engkau jatuh miskin; masa senggangmu sebelum engkau
sibuk; hidupmu sebelum engkau mati. (HR al-Hakim)
Meski filosofi yang sering dilontarkan dalam agama adalah: “Untuk apa
kesehatan?” tidak berarti agama sama sekali tidak berbicara mengenai
“Bagaimana hidup sehat?”.
Ada beberapa riwayat Hadis yang mengandung ajaran-ajaran hidup sehat.
Misalnya, sabda Rasulullah ?, “Lakukanlah bepergian, maka kalian
sehat.” (HR Ahmad). “… dan berpuasalah kalian, maka kalian sehat.” (HR
ath-Thabarani). “Orang yang tidur dalam keadaan tangannya berbau lemak,
lalu ia terkena sesuatu, maka janganlah ia mencela kecuali dirinya
sendiri.” (HR ad-Darimi).
Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wasallam menerapkan pola makan yang sehat. Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi wasallam memakan kurma dengan mentimun. (HR
al-Bukhari dan Muslim). Rasulullah melarang tidur setelah makan (HR Abu
Nuaim). Rasulullah menganjurkan mengawali berbuka dengan kurma, jika
tidak ada maka dengan air. (HR at-Tirmidzi) Rasulullah memerintahkan
makan malam meskipun dengan setelapak kurma. (HR at-Tirmidzi).
Ada beberapa ulama yang secara khusus menulis ajaran kesehatan dalam
Islam, misalnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam ath-Thibb an-Nabawi. Ibnu
Muflih al-Maqdisi dalam al-آdâb asy-Syar’iyah, secara panjang lebar
mengurai pola hidup sehat yang diterapkan oleh Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wasallam Begitu pula asy-Syami dalam kitab sejarah Subulul-Hudâ
wa-Rasyad, secara khusus menulis judul “Sejarah Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi wasallam dalam Menjaga Kesehatan”. Juga, Imam al-Ghazali dalam
Ihyâ’ Ulûmiddin, tidak jarang menyinggung hikmah-hikmah kesehatan yang
terdapat dalam ajaran-ajaran Islam.
Pola hidup sehat ada tiga macam: yang pertama, melakukan hal-hal yang
berguna untuk kesehatan; yang kedua, menghindari hal-hal yang
membahayakan kesehatan; yang ketiga, melakukan hal-hal yang dapat
menghilangkan penyakit yang diderita. Semua pola ini dapat ditemukan
dalilnya dalam agama, baik secara jelas atau tersirat, secara khusus
atau umum, secara medis maupun non medis (rohani).
Allah berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: … makan dan minumlah kalian, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS
al-A’raf [7]: 31)
Menurut mufasir kontemporer, semacam as-Sa’di, ayat tersebut mencakup
perintah menjalani pola hidup sehat dalam bentuk melakukan dan
menghindari, yakni mengonsumsi makanan yang bermanfaat untuk tubuh,
serta meninggalkan pola makan yang membahayakan. Makan dan minum sangat
diperlukan untuk kesehatan, sedangkan berlebih-lebihan harus
ditinggalkan untuk menjaga kesehatan.
As-Sa’di juga menganggap larangan Allah dalam QS al-Baqarah: 95,
“Walâ tulqû bi-aydîkum ilat-tahlukah (dan janganlah kalian menjatuhkan
diri kalian ke dalam kebinasaan)” merupakan prinsip umum yang bisa juga
dijadikan dalil bagi kesehatan. Seorang Muslim dilarang melakukan
hal-hal yang membahayakan dirinya, termasuk di dalamnya adalah
mengonsumsi atau melakukan hal-hal yang berbahaya bagi kesehatan.
Tuntunan kesehatan fisik dalam agama tentu saja dibangun di atas
pondasi kesehatan rohani, karena ajaran agama bukanlah teori-teori
kedokteran. Contoh-contoh yang disebutkan di atas semuanya memiliki
landasan moral, tak murni tuntunan medis.
Dalam pandangan agama, kesehatan merupakan kemaslahatan duniawi yang
harus dijaga selagi tidak bertentangan dengan kemaslahatan ukhrawi atau
kemaslahatan yang lebih besar. Kesehatan, kedokteran dan semacamnya
sudah menyangkut kepentingan umum yang dalam pandangan Islam merupakan
kewajiban kolektif (fardu kifayah) bagi kaum Muslimin.
Sebagai gejala jasmani murni, sehat dan sakit, boleh dibilang tidak
secara langsung berkaitan dengan agama. Dalam pandangan agama, sehat
belum tentu lebih baik daripada sakit, begitu pula sebaliknya. Sehat dan
sakit merupakan dua kondisi yang sama-sama memiliki potensi untuk
mendapat label baik atau buruk. Jika manusia bisa mendapat pahala atau
dosa dari kondisi sehatnya, maka ia juga bisa mendapatkan pahala atau
dosa dari kondisi sakitnya. Di situlah sebetulnya fokus pandangan agama
mengenai sehat dan sakit. Selebihnya dari itu, merupakan pengembangan
dari prinsip-prinsip moral seperti telah disebutkan di atas.
Pada dasarnya, agama sangat menganjurkan kesehatan, sebab apa yang
bisa dilakukan oleh seseorang dalam keadaan sehat lebih banyak daripada
yang apa yang bisa dilakukannya dalam keadaan sakit. Manusia bisa
beribadah, berjihad, berdakwah dan membangun peradaban dengan baik, jika
faktor fisik berada dalam kondisi yang kondusif. Jadi, kesehatan fisik,
secara tidak langsung, merupakan faktor yang cukup menentukan bagi
tegaknya kebenaran dan terwujudnya kebaikan.
Namun demikian, posisi kesehatan tetap sebagai sarana, bukan tujuan.
Tujuan agama adalah tegaknya kebenaran dan terwujudnya kebaikan itu
sendiri. Maka, oleh karena itu, dalam sabda-sabda Rasulullah dapat
dengan mudah kita temukan janji-janji manis untuk orang-orang yang
sakit: bahwa penyakit merupakan penghapus dosa dan mesin pahala yang
besar.
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam menyatakan bahwa orang
meninggal karena sakit perut atau terkena wabah thaun, maka ia syahid.
Orang yang sabar saat kedua matanya buta, maka ia mendapat surga (HR
al-Bukhari), dan lain sebagainya. Tapi, hal ini sama sekali tidak bisa
diartikan bahwa Islam menganjurkan sakit perut, sakit mata, dan
seterusnya. Yang dianjurkan adalah sikap tabah dan rela terhadap takdir
ketika penyakit-penyakit tersebut menyerangnya. Sebab, misi agama adalah
mengajak manusia agar menjadikan setiap kondisi dalam hidupnya sebagai
sarana untuk mendulang kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah, baik
dalam kondisi sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, kuat maupun lemah,
dan seterusnya.
Selain itu, janji pahala tersebut, bisa dipahami sebagai paradigma
Islam dalam membesarkan hati orang-orang yang berada dalam kondisi
sengsara agar ia tidak putus asa, sebagaimana Islam juga senantiasa
memberikan peringatan dan menyalakan lampu kuning untuk orang-orang yang
berada dalam kondisi sehat-sejahtera, agar ia tidak terlena.
Dengan demikian, maka jelas sekali bahwa agama mengajarkan hidup
sehat, meskipun di balik itu, yang jauh lebih ditekankan oleh agama
adalah bagaimana menggunakan kesehatannya itu untuk sesuatu yang baik.
Kondisi terbaik yang paling diimpikan oleh agama bagi kehidupan
masyarakat adalah kebaikan dalam kesehatan. Selebihnya dari itu,
kesehatan boleh hilang asal kebaikan tetap terjaga, dalam kondisi
apapun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar